Translate text

Rabu, 19 Februari 2014

Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Perdagangan

Assalamualaikum Wr Wb

Salam pintar , kali ini admin akan membagikan artikel tentang Terbentuknya jarungan nusantaramelalui perdagangan, yang juga saya referensi dari berbagai artikel, inilah artikelnya yang sudah saya referensi, 
silahkan disimak.....


Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Perdagangan


 Pusat-pusat integrasi Nusantara berlangsung melalui
penguasaan laut. Pusat-pusat integrasi itu selanjutnya ditentukan
oleh keahlian dan kepedulian terhadap laut, sehingga terjadi
perkembangan baru, setidaknya dalam dua hal, yaitu (i) pertumbuhan
jalur perdagangan yang melewati lokasi-lokasi strategis di pinggir
pantai, dan (ii) kemampuan mengendalikan (kontrol) politik dan
militer para penguasa tradisional (raja-raja) dalam menguasai jalur
utama dan pusat-pusat perdagangan di Nusantara. Jadi, prasyarat
untuk dapat menguasai jalur dan pusat perdagangan ditentukan
oleh dua hal penting yaitu perhatian atau cara pandang dan
kemampuan menguasai lautan.
 Jalur-jalur perdagangan yang berkembang di Nusantara
sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi pada saat itu dan
perkembangan rute perdagangan dalam setiap masa yang berbeda
beda. Jika pada masa praaksara hegemoni budaya dominan datang
dari pendukung budaya Austronesia dari Asia Tenggara Daratan.
Pada masa perkembangan Hindhu-Buddha di Nusantara terdapat
dua kekuatan peradaban besar, yaitu Cina di utara dan India di
bagian barat daya. Keduanya merupakan dua kekuatan super power
pada masanya dan pengaruhnya amat besar terhadap penduduk di
Kepulauan Indonesia. Bagaimanapun, peralihan rute perdagangan
dunia ini telah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat dan
suku bangsa di Nusantara. Mereka secara langsung terintegrasikan
ke dalam jalinan perdagangan dunia pada masa itu. Selat Malaka
menjadi penting sebagai pintu gerbang yang menghubungkan
antara pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang India.
 Pada masa itu Selat Malaka merupakan jalur penting dalam
pelayaran dan perdagangan bagi pedagang yang melintasi bandar
bandar penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia. Selat
itu merupakan jalan laut yang menghubungkan Arab dan India di
sebelah barat laut Nusantara, dan dengan Cina di sebelah timur
laut Nusantara. Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang
dikenal dengan nama “jalur sutra”. Penamaan ini digunakan sejak
abad ke-1 hingga ke-16 M, dengan komoditas kain sutera yang
dibawa dari Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain. Ramainya
rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting
di sekitar jalur, antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan Kota Cina
(Sumatra Utara sekarang).
 Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi
lebih sejahtera oleh proses integrasi perdagangan dunia yang
melalui jalur laut tersebut. Mereka menjadi lebih terbuka secara
sosial ekonomi untuk menjalin hubungan niaga dengan pedagang
pedagang asing yang melewati jalur itu. Di samping itu, masyarakat
setempat juga semakin terbuka oleh pengaruh-pengaruh budaya
luar. Kebudayaan India dan Cina ketika itu jelas sangat berpengaruh
terhadap masyarakat di sekitar Selat Malaka. Bahkan sampai saat
ini pengaruh budaya terutama India masih dapat kita jumpai pada
masyarakat sekitar Selat Malaka.
 Disamping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dengan
perdagangan dunia internasional, jaringan perdagangan antarbangsa
dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga berkembang pesat
selama masa Hindhu-Buddha. Jaringan dagang dan jaringan
budaya antarkepulauan di Indonesia itu terutama terhubungkan
oleh jaringan laut Jawa hingga kepulauan Maluku. Mereka secara
tidak langsung juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia
yang berpusat di sekitar selat Malaka, dan sebagian di pantai barat
Sumatra seperti Barus. Komoditas penting yang menjadi barang
perdagangan pada saat itu adalah rempah-rempah, seperti kayu
manis, cengkih, dan pala.
 Pertumbuhan jaringan dagang internasional dan antarpulau
telah melahirkan kekuatan politik baru di Nusantara. Peta politik di
Jawa dan Sumatra abad ke-7, seperti ditunjukkan oleh D.G.E. Hall,
bersumber dari catatan pengunjung Cina yang datang ke Sumatra.
Dua negara di Sumatra disebutkan, Mo-lo-yeu (Melayu) di pantai
timur, tepatnya di Jambi sekarang di muara Sungai Batanghari.
Agak ke selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara
Cina untuk kata bahasa sanskerta, Criwijaya. Di Jawa terdapat tiga
kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa, terdapat Tarumanegara,
dengan rajanya yang terkemuka Purnawarman, di Jawa bagian
tengah ada Ho-ling (Kalingga), dan di Jawa bagian timur ada
Singhasari dan Majapahit.
 Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara
yang memiliki kekuatan integrasi secara politik, sejauh ini
dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari,
dan Majapahit. Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya
adalah kemampuan kerajaan-kerajaan tradisional tersebut dalam
menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah kontrol
politik secara longgar dan menempatkan wilayah kekuasaannya
itu sebagai kesatuan-kesatuan politik di bawah pengawasan dari
kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian pengintegrasian
antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk.
 Kerajaan utama yang disebutkan di atas berkembang dalam
periode yang berbeda-beda. Kekuasaan mereka mampu mengontrol
sejumlah wilayah Nusantara melalui berbagai bentuk media. Selain
dengan kekuatan dagang, politik, juga kekuatan budayanya,
termasuk bahasa. Interelasi antara aspek-aspek kekuatan tersebut
yang membuat mereka berhasil mengintegrasikan Nusantara dalam
pelukan kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan tersebut berkembang
menjadi kerajaan besar yang menjadi representasi pusat-pusat
kekuasaan yang kuat dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih
kecil di Nusantara.
 Hubungan pusat dan daerah hanya dapat berlangsung
dalam bentuk hubungan hak dan kewajiban yang saling
menguntungkan (mutual benefit). Keuntungan yang diperoleh dari
pusat kekuasaan antara lain, berupa pengakuan simbolik seperti
kesetiaan dan pembayaran upeti berupa barang-barang yang
digunakan untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yang
dapat diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional.
Sebaliknya kerajaan-kerajaan kecil memperoleh perlindungan dan
rasa aman, sekaligus kebanggaan atas hubungan tersebut.Jika pusat
kekuasaan sudah tidak memiliki kemampuan dalam mengontrol
dan melindungi daerah bawahannya, maka
sering terjadi pembangkangan dan sejak itu
kerajaan besar terancam disintegrasi. Kerajaan-
kerajaan kecil lalu melepaskan diri dari ikatan
politik dengan kerajaan-kerajaan besar lama
dan beralih loyalitasnya dengan kerajaan lain
yang memiliki kemampuan mengontrol dan lebih bisa melindungi
kepentingan mereka. Sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha
ditandai oleh proses integrasi dan disintegrasi semacam itu. Namun
secara keseluruhan proses integrasi yang lambat laun itu kian
mantap dan kuat, sehingga kian mengukuhkan Nusantara sebagai
negeri kepulauan yang dipersatukan oleh kekuatan politik dan
perdagangan.

Daftar pustaka:

Segitu jaja yang dapat saya tulis, jika ada salah saya mohon maaf, inilah sifat alami manusia yang selalu salah dan tak luput dari dosa-dosa , sampai ketemu lagi, Salam pintar....

Wassalamualaikum Wr Wb


Tidak ada komentar: